Pengetahuan Lahir Dari Rasa Penasaran

Hafidz NDP
3 min readMay 3, 2023

Melanjutkan cerita ku kemarin yang ku tulis dalam artikel “Berjalan Tanpa Pengetahuan". Aku masih penasaran terkait apakah benar supaya mata minus tidak bertambah harus menggunakan kacamata bukan dilatih tanpa menggunakan kacamata. Kebetulan sekali hari ini kerjaan ku lenggang sehingga aku bisa meluangkan sebagian waktu kerja ku untuk melakukan riset kecil-kecilan.

Namun yang pertama aku research bukanlah rasa penasaran ku melainkan ambisi yang tak kunjung tercapai. Sejak dari dulu aku selalu bermimpi untuk menjadi diplomat, tapi aku takut karena aku menyadari banyaknya kekurangan dalam diri ini. Ambisi ku melebih ketakutan sehingga aku memberanikan diri untuk mencari informasi mengenai bagaimana langkah-langkah untuk menjadi diplomat. Aku mulai dari teman ku yang sudah menjadi diplomat dahulu.

Teman ku ini memang sangat luar biasa, tidak terlihat progresnya tiba-tiba sudah menjadi diplomat. Sempat ada rasa iri dan kecewa sejak aku mengetahui dia diterima menjadi calon diplomat. Tapi aku menyadari iri tanpa memperbaiki itu adalah habit yang negatif. Aku coba ubah rasa iri ku menjadi kekaguman. Kekaguman ku membuat rasa ingin tau ku tergugah. Aku jadi bertanya-tanya bagaimana dia bisa menjadi diploma?

Status di sosial media dia menjadi prioritas. Sosial media memudahkan ku untuk mencari tau kegitannya sehari-hari. Setelah itu aku cari informasi lainnya seperti informasi pribadi, prestasinya dan biografi yang membuat ia bisa menjadi calon diplomat. Setelah aku mempelajari, ternyata ia memang orang yang hebat namun tetap rendah hati. Pantas saja mudah bagi dia untuk menggapai sesuatu yang dia inginkan. Dalam benaku “aku harus lebih hebat dari dia dan harus mampu mewujudkan mimpiku". Rasa ambisi yang berlahan mulai padam kembali membara berkat dia. Dia memotivasi ku.

Lalu aku mencoba memberanikan diri untuk mencari informasi mendalam terkait program pendaftaran menjadi diplomat. Aku mulai dari keyword sederhana dan muncul lah beberapa artikel yang hanya menampilkan informasi umum. Lalu aku cari dengan keyword yang lebih spesifik dan berhasil. Muncul beberapa ketentuan khusus untuk menjadi diplomat. Aku baca berlahan dengan membandingkan kualifikasi yang aku miliki. Its not to bad, ternyata beberapa kekurangan yang aku miliki tidak menjadi masalah. Tinggal beberapa lagi yang mungkin bisa aku perbaiki.

Dari beberapa kekurangan tersebut satu hal yang membuat ku masih khawatir, yaitu kesehatan akan mata ku. Mata minus? Its not problem karena aku tau di era sekarang mata minus tidak menjadi kendala lagi. Kondisi mata ku tidak hanya minus, namun satu bola mata ku sebalah kiri saat ini tidak bisa menangkap gambar lagi. Aku bilang saat ini karena aku masih berharap akan kesembuhan suatu saat nanti.

Aku mulai mencari informasi lagi terkait kualifikasi kesehatan karena di prasyarat kesehatan tidak tertulis dengan jelas. Aku penasaran apakah kesehatan terkhusus mata ku masih terbilang normal atau aku masuk katagori kebutuhan khusus. Kalo aku masuk kategori kebutuhan khusus aku juga mau mendaftar, karena aku merasa tidak seperti itu. Aku mulai mencari kategori kesehatan mata.

Ternyata ada beberapa kategori kesehatan pada mata, yaitu ‘buta warna, visus dan anatomi’. Buta warna mungkin merupakan test kesehatan yang umum dilakukan. Kalo visus masih setengah mampu lah karena hanya mengecek kejelasan mata dalam melihat objek. Nah anatomi ini yang menjadi penghambat ku (mungkin). Karena didalam anatomi ada kategori trauma, katarak dan glukoma, yang mungkin aku bisa masuk kategori satunya. Mungkin mental ku agak sedikit down tapi apa salahnya kan tetap dicoba. Toh lebih baik menyesal karena mencoba dari pada menyesal karena tidak pernah mencoba.

Oke, rasa ambisi sudah terpuaskan sekarang mengobati rasa penasaran ku, dan kebetulan masih diinformasi yang sama mengenai mata. Kebetulan sekali aku berada pada informasi kelainan mata mengenai rabun jauh atau miopi. Setelah aku baca ternyata pengetahuan ku keliru, aku kira miopi adalah penyakit dimana pupil sudah lagi tidak bekerja optimal sehingga tidak bisa menangkap cahaya yang dialirkna ke retina, itu lah yang menyebabkan rabun. Kalo pupil sudah tidak bisa bekerja optimal mungkin hipotesa ku untuk terus dilatih tanpa kacamata supaya bisa optimal kembali mungkin benar. Namun ternyata salah, Miopi adalah penyakit dimana kondisi mata memanjang/melonjong (tida bundar lag) sehingga cahaya yang ditangkap tidak dapat ditransfer dengan tepat, seperti lensa jika cekungannya berubah otomatis cahaya yang diserap arahnya akan berubah juga. Oleh sebab itu satu-satunya obat dengan lasik (mengarahkan kembali cahaya yang dipantulkan). Selain itu mata dianjurkan jangan cepat lelah dan diperbanyak mengkonsumsi vitamin A atau D, karena jika lelah dan kurang asupan maka mata akan mudah berubah bentuk. Aku juga sadar, jika aku lepas kacamata ketika melihat jarak jauh aku harus menyipitkan mata, mungkin itu berefek pada perubahan bola mata juga.

Betapa bodohnya aku dan merasa sok tahu kemarin. Ternyata benar orang yang bodoh adalah orang yang merasa dirinya tau. Aku merasa tidak pantas untuk menjadi diplomat dan aku merasa artikel yang aku baca mengenai penyakit mata adalah salah. Untung saja rasa penasaran ku membuat terus mencari pengetahuan terbaru, sehingga aku tidak terjebak dalam rasa sok tau ku.

--

--

Hafidz NDP
0 Followers

Knowledge Seeker || Write about My Prespektif, My Knowledge and My Believe || Anthusiast on Economic Environment and Energt